Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin menyoroti berbagai isu dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Terdapat sejumlah hal baru jika dibandingkan Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu.
Misalnya, antara lain, terkait pelaksanaan Pemilu Daerah dan Pemilu Nasional, larangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berpartisipasi sebagai peserta pemilihan calon presiden, calon anggota legislatif hingga calon kepala daerah, hingga ambang batas partai lolos DPR yang menjadi 5%.
Wacana RUU Pemilu ini memang menuai berbagai macam pro dan kontra di tengah masyarakat. Mulai dari pengamat, akademi, politisi bahkan tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan. Najamudin berharap RUU Pemilu yang nantinya dibahas dapat memperbaiki kehidupan berdemokrasi. Najamudin juga menilai poin-poin krusial dalam draf RUU Pemilu sudah berada pada jalur yang benar.
“Kehidupan demokrasi kita harus bergerak progresif kearah kemajuan. Kehidupan politik kita harus mampu bertransformasi menuju demokrasi substansial. RUU Pemilu yang akan dibahas oleh DPR, bukan akhir dari perbaikan demokrasi kita, tetapi harus dijadikan landasan pijakan awal yang tepat,” kata Najamudin, di Jakarta, Sabtu (30/1/2021).
Senator muda asal Bengkulu tersebut menyatakan, regulasi yang dihadirkan harus mampu meminimalisir serta menghadirkan konsekuensi hukum bagi praktik-praktik buruk dalam pemilu. Contohnya, mahar, politik uang, abuse of power, isu politik identitas, keberpihakan penyelenggara, dan politik dinasti. Sebab, hal tersebut tentu mencederai demokrasi.
“Untuk demokrasi yang baik ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu adanya kebebasan berserikat dan menyampaikan pikiran, akuntabilitas publik, transparansi, prinsip mayoritas, pemilu yang teratur,” ucap Najamudin.
“Demikian halnya persamaan kedudukan untuk semua warga negara, partisipasi yang terbuka untuk semua rakyat, tumbuhnya civil society, siklus pergantian kepemimpinan yang teratur, penyelesaian konflik secara damai, serta menjunjung tinggi perbedaan, peradilan yang bebas dan mandiri, dan adanya kebebasan pers. Roh RUU Pemilu saat ini sudah ke arah sana.”
Secara khusus, Najamudin menyampaikan pendapatnya terkait ambang batas DPR yang naik dari 4% menjadi 5%. Menurut Najamudin, peningkatan itu menjadi salah satu kebutuhan dalam kepemiluan.
Untuk membentuk sistem presidensial yang kuat, lanjut Najamudin, dibutuhkan dukungan parlemen sebagai mitra kritis. Dengan begitu, pemerintahan dapat berjalan efektif.
“Saat ini pemerintah kita menunjukkan upaya menata kembali sistem pemilu kita agar menghasilkan partai politik minimal dalam kuantitas, tapi optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Idealnya mungkin cukup dengan 5-7 partai politik,” kata Najamudin.
Najamudin menyatakan, hampir semua partai politik yang ada di Indonesia masih memiliki platform arah program selaras, dan tidak jauh berbeda bagi publik.
“Justru dengan keinginan bahwa revisi UU 7/2017, UU Pemilu ini tidak berubah tiap 5 tahun sekali dan bisa digunakan selama 15 hingga 25 tahun ke depan, maka bila perlu ambang batas ini bisa dinaikkan bukan hanya 5%, tetapi 7-9%, dan ini adalah opsi yang tepat,” ungkap Najamudin.
Akan tetapi, menurut Najamudin, selain menaikkan ambang batas parlemen, memastikan parlemen tetap kuat harus menjadi perhatian.
“Jadi sebenarnya perbaikan ke depan bukan hanya terbatas pada prosedural teknis semata (jumlah kursi di parlemen), tetapi yang lebih penting bagaimana memastikan kualitas hasil pemilu dengan mendorong parpol untuk berbenah serius dalam mempersiapkan sistem ditubuhnya agar terjadi regenerasi kepemimpinan nasional,” kata Najamudin
Sumber: BeritaSatu.com