Sabtu, 27 Jul 2024

Pimpinan DPD Usul Presiden Kembali Jadi Mandataris MPR

6 minutes reading
13 Jul 2021

RM.id  Rakyat Merdeka – Wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 kembali mencuat dalam beberapa waktu belakang. Adapun isi dalam rencana agenda perubahan tersebut adalah memunculkan kembali Pokok-pokok Haluan Negara serta penataan kewenangan lembaga negara Republik Indonesia.

Isu ini menjadi topik yang hangat serta menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Karena hadirnya asumsi, bahwa dengan terjadinya perubahan terhadap konstitusi tersebut, maka sangat berpeluang ‘disusupi’ klausul mengenai penambahan masa jabatan Presiden. Ditambah lagi munculnya keinginan dari organisasi Jokowi-Prabowo untuk kepemimpinan saat ini bisa dilanjutkan kembali.

Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin menyatakan, amandemen kelima UUDNRI 1945 adalah keniscayaan yang mesti dilakukan. Bahkan lebih jauh, Sultan menjabarkan, amandemen ini jalan yang mesti ditempuh dalam membangun demokrasi Indonesia. “Undang-undang dasar suatu negara bersifat dinamis, mengikuti gerak masyarakatnya. Bahkan diharapkan dapat menjadi guiding star yang memandu kehidupan masyarakatnya dalam meraih cita-cita bersama. Karena itu pembentuk undang-undang dasar dan perubahannya harus mampu menangkap semangat zaman dan sekaligus berfikir visioner,” ujar Sultan dalam keterangannya, Kamis (24/6).

Sultan menambahkan, poin usulan dalam amandemen kelima harus berorientasi pada kehidupan kenegaraan kita bersama. Juga tidak boleh terjebak dalam kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Mengenai gagasan besar dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, menurut Sultan, harus dijadikan sebagai pintu masuk koreksi dan evaluasi terhadap tujuan agenda reformasi yang telah berjalan kurun waktu 23 tahun.

“Demokrasi adalah hadiah terbesar bagi rakyat Indonesia yang diberikan oleh amanat Reformasi. Dan hal itu telah membawa perubahan cara kehidupan bernegara kita. Yaitu dengan menjadikan demokrasi sebagai tatanan nilai dalam suasana kehidupan kebangsaan, dan pemilihan langsung adalah bentuk nyata pemenuhan kedaulatan rakyat,” tutur Senator muda tersebut.

Hanya saja Lanjut Sultan, timbul pertanyaan mendasar, apakah cita-cita reformasi tersebut telah tercapai melalui skema demokrasi yang dijalankan pada saat ini? Pada awalnya, hadirnya mekanisme pemilihan Presiden secara langsung diharapkan mendorong demokrasi di Indonesia menuju fitrahnya. Kekuasaan berada di tangan rakyat. Hanya saja, lanjut Sultan, berkaca pada pengalaman pemilihan kepemimpinan nasional kebelakang secara langsung, ternyata tidak serta merta mewujudkan harapan dari demokrasi tersebut.

Dia menilai, kurang lebih dua puluh tahun terakhir, ritual demokrasi kita telah dilakukan secara berkala. Pemilihan langsung baik di eksekutif maupun legislatif telah menelan biaya yang sangat besar dalam memastikan serta menyalurkan legitimasi rakyat, justru hal tersebut tidak sebanding dengan hasil pembangunan yang diharapkan.

“Ratusan triliun yang digunakan dalam membiayai proses demokrasi, sangat mahal. Padahal seandainya jika sistem pemilihan dapat dikembalikan kepada MPR, tentu akan lebih membuat efisiensi keuangan negara. Sebab ongkos pemilu tersebut dapat digunakan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah,” yakinnya.

Rakyat Hanya Disodorin Calon Dari Parpol

Selain itu, Sultan menambahkan, masalah lainnya dalam proses pemilihan langsung selama ini  adalah rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional. Padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elit politik secara perseorangan. Setelah pemilihan umum berlalu, permainan politik dikembalikan lagi kepada para aktor politik, bukan kepada rakyat.

Sultan juga berpandangan, pemilihan langsung Presiden dan Wapres sangat rentan terhadap terjadinya polarisasi di masyarakat. Misalnya Pilkada DKI Jakarta 2017, masyarakat terbelah dan sangat berpotensi terhadap timbulnya konflik horisontal. Ini berlanjut hingga pada saat pelaksanaan Pemilihan (Pilpres) Presiden 2019.

Dampak polarisasi, kata dia, sangat menganggu agenda pembangunan, energi bangsa terkuras habis, bahkan Presiden terpilih harus melakukan rekonsiliasi agar penyatuan masyarakat dapat kembali terjadi. Dan itu memakan waktu lama dengan sumberdaya yang besar.

Menurutnya, masih banyak persoalan dalam landasan konstitusi yang mesti disempurnakan. Seperti pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 khususnya setelah Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden terpilih yang mendapat dukungan mayoritas dari pemilih ternyata belum tentu didukung oleh mayoritas suara di DPR.

Karena itulah, koalisi taktis dilakukan antar partai politik pendukung presiden terpilih dengan partai politik lainnya yang memperoleh kursi di DPR. Dan ini dampak akibat dari ketidak jelasan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggung jawab kepada siapa.

Atas kondisi tersebut, lanjutnya, seringkali terjadi legitimasi suara dari rakyat melalui pemilihan umum dalam menentukan Presiden bersama Wapres dalam ekspektasi independensi suatu kebijakan, justru seringkali terdistorsi oleh kepentingan para kelompok elit politik.

Sebagai perbandingan, sebelum reformasi, kekuasaan lebih berat ke eksekutif (executive heavy), kini pasca reformasi kekuasaan justru cenderung lebih berat ke legislatif (legislative heavy). Sehingga terjadi anomali sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan DPR sangat kuat. DPR sangat berperan dalam menentukan anggaran, dalam membentuk undang-undang, dalam rekrutmen jabatan publik dan berbagai kebijakan negara lainnya, serta dalam mengawasi pemerintah.

“Maka dengan seluruh persoalan demokrasi yang ada, perubahan ke-5 UUDNRI 1945 perlu dilakukan dengan suatu grand design yang jelas, disertai visi yang aspiratif dengan mesti melibatkan banyak pihak. Perubahan UUDNRI Tahun 1945 kelima nanti harus dapat merevitalisasi fungsi konstitusi. Dan kebutuhan kita saat ini melalui amandemen adalah mengembalikan nilai Pancasila didalam ruang kehidupan demokrasi kita,” paparnya.

Dipilih Kembali Oleh MPR

Dengan seluruh alasan tersebut, isu krusial dalam amandemen UUDNRI 1945, kata Sultan, menitikberatkan pada road map bagaimana Presiden dapat dipilih kembali oleh MPR. “Selain mendorong usulan hadirnya kembali pokok haluan negara yang konsekuensinya adalah Presiden bertanggung jawab pada MPR dan penataan kewenangan lembaga tinggi negara. Mengembalikan Presiden sebagai mandataris MPR adalah kebutuhan mendesak yang mesti kita kaji secara bersama di dalam usulan perubahan konstitusi kita,” tegasnya.

Wacana ini memiliki landasan yang kuat. Bagi Sultan, wewenang MPR harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara, adalah hal pertama yang mesti dilaksanakan. Jadi pemilihan Presiden tetap dilakukan oleh MPR sebagaimana wujud penjelmaan perwakilan seluruh rakyat Indonesia.

Sistem demokrasi yang kita anut, kata Sultan, harus menampilkan wujud identitas kebangsaan kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Maka konsekuensi logisnya bersumber pada sila ke-4, pengambilan keputusan harus berdasarkan musyawarah mufakat dengan asas keterwakilan.

Dengan mengembalikan peran dan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lanjut Sultan, tidak berarti hendak mengambil langkah mundur bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Namun merupakan cara terbaik dalam menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang sesungguhnya dengan menangkal liberalisasi yang terjadi. Yakni kuatnya pengaruh oligarki politik dan oligarki ekonomi yang berkelindan didalam ruang kontes demokrasi kita yang berbiaya tinggi.

Semangat Pancasila, dinilainya akan signifikan mendorong terlaksananya suksesi kepemimpinan yang berkualitas dan penuh dengan ketertiban sosial. Karena sistem kontrol pemilu akan berjalan efektif dan efisien hanya pada lembaga MPR sehingga juga potensi intervensi asing pihak luar serta money politics pun akan mudah diawasi dan dihindari.

Selain itu, langkah ini akan memberikan ruang keadilan pada seluruh anak bangsa untuk dapat berkesempatan berpartisipasi dalam kontestasi kepemimpinan nasional. Sebab demokrasi harus diarahkan pada kebutuhan kualitas, bukan faktor kuantitas seperti jumlah suara.

“Disadari atau tidak, demokrasi yang kita laksanakan sekarang telah menggerus nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Rasanya sulit atau bahkan tidak mungkin tokoh-tokoh terbaik bangsa dari daerah kecil diuar pulau Jawa dapat menjadi representasi kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,” ungkapnya.

Selain itu, mantan ketua HIPMI Bengkulu ini menyatakan, penentuan pembatasan jabatan presiden menjadi mutlak adanya dalam demokrasi Pancasila. Sehingga tidak perlu mengulangi sejarah kelam kepemimpinan nasional pada Orde Lama dan Orde Baru .

“Sebagai dampaknya, etos demokrasi Pancasila akan memaksa Partai politik untuk berlomba meningkatkan kualitas gagasan partai dan juga kualitas profil kadernya sebagai calon pemimpin bangsa untuk ditawarkan kepada rakyat melalui lembaga perwakilan yang ada. Sebagai anak bangsa, kita menginginkan Indonesia dapat menjadi bangsa pemenang, utuh dan tidak terpecah belah,” pungkasnya. [ONI]

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *