WAKIL Ketua DPD RI Sultan B Najamudin menyoroti soal kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari 4% menjadi 5% yang termasuk dalam draf revisi UU Pemilu. Menurutnya, hal tersebut adalah salah satu kebutuhan dalam kepemiluan kita. Untuk membentuk sistem presidensial yang kuat dibutuhkan dukungan parlemen yang dapat menjadi mitra kritis agar pemerintahan dapat berjalan efektif.
“Saat ini pemerintah kita menunjukkan upaya menata kembali sistem pemilu agar menghasilkan partai politik minimal dalam kuantitas, tapi optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Idealnya mungkin cukup dengan 5-7 partai politik,” kata Sultan B Najamudin melalui keterangan resmi, Sabtu (30/1).
Senator yang karib disapa SBN ini menilai hampir semua partai politik yang ada di Indonesia masih memiliki platform arah program yang sama dan tidak jauh berbeda bagi publik.
“Justru dengan keinginan bahwa revisi Undang-Undang ini tidak berubah tiap 5 tahun sekali dan bisa digunakan selama 15-25 tahun ke depan, maka bila perlu ambang batas ini bisa dinaikkan bukan hanya 5%, tapi 7-9%. Ini adalah opsi yang tepat,” ucapnya.
Selain menaikkan ambang batas parlemen, yang perlu menjadi pertimbangan pemikiran bersama adalah memastikan parlemen tetap kuat menjalani peran legislatif di tengah dominasi koalisi pemerintah yang berefek pada penguatan demokrasi kita.
“Jadi sebenarnya perbaikan ke depan bukan hanya terbatas pada prosedural teknis semata (jumlah kursi di parlemen), namun yang lebih penting bagaimana memastikan kualitas hasil Pemilu dengan mendorong parpol untuk berbenah serius dalam mempersiapkan sistem ditubuhnya agar terjadi regenerasi kepemimpinan nasional yang bertekad mewujudkan misi kebangsaan kita bersama,” tuturnya.
Draf revisi Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2021. Terdapat beberapa perubahan mengenai pemilu, misalnya tentang pelaksanaan pemilu nasional yang akan digelar 2024, eks HTI dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilihan calon, calon anggota legislatif hingga calon kepala daerah.
Lalu, syarat pendidikan capres-caleg minimal lulusan perguruan tinggi, capres wajib masuk (anggota) partai politik, sanksi mahar capres, ambang parliamentary threshold menjadi 5%, ambang batas tingkat DPRD dan wacana menggunakan e-voting.
Wacana itu lantas menuai pro dan kontra dari masyarakat, pengamat, politikus hingga tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin pun ikut memberikan opini terhadap usulan perubahan tersebut.
“Kehidupan demokrasi kita harus bergerak progresif ke arah kemajuan. Kehidupan politik kita harus mampu bertransformasi menuju demokrasi substansial. RUU Pemilu yang akan dibahas oleh DPR bukan akhir dari perbaikan demokrasi kita, tapi harus dijadikan landasan pijakan awal (starting point) yang tepat. Saat ini, poin-poin krusial dalam draf revisi sudah berada pada jalur yang benar,” tukasnya.
Senator muda asal Provinsi Bengkulu ini juga menambahkan, regulasi yang dihadirkan harus mampu meminimalisir serta menghadirkan konsekuensi hukum bagi praktik-praktik buruk dalam pemilu (mahar, money politic, abouse of power, isu identitas, keberpihakan penyelenggara, politik dinasti, dll) yang sudah pasti tentu mencederai demokrasi.
“Untuk demokrasi yang baik ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu kebebasan berserikat dan menyampaikan pikiran, akuntabilitas publik, transparansi, prinsip mayoritas, pemilu yang teratur. Persamaan kedudukan untuk semua warga negara, partisipasi yang terbuka untuk semua rakyat, tumbuhnya civil society, siklus pergantian kepemimpinan yang teratur, penyelesaian konflik secara damai, serta menjunjung tinggi perbedaan, peradilan yang bebas dan mandiri sekaligus adanya kebebasan pers. Ruh RUU Pemilu saat ini sudah kearah sana,” pungkasnya.(RO/OL-5)