Jakarta – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin menilai perkiraan Indonesia gagal mencapai target sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi atau negara maju di 2045 sebagai warning bagi pemerintah.
Menurut mantan ketua HIPMI Bengkulu itu mengungkapkan bahwa semua variabel struktur ekonomi Indonesia saat ini masih terbilang rapuh. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan teknologi yang masih rendah dan biaya logistik yang cukup tinggi.
“Ke depannya Pemerintah perlu mendorong akselerasi tranformasi ekonomi dengan memprioritaskan adopsi teknologi pada sektor riil. Dengan demikian akan terwujud efisiensi dan peningkatan inovasi hilirisasi pada sektor rill”, jelas Sultan.
Penguatan kapasitas ekonomi berbasis hilirisasi komoditas, kata Sultan, harus tetap ditingkatkan. Namun perluasan investasi dengan teknologi modern adalah kebutuhan yang harus didukung oleh semua elemen bangsa.
“Kami juga mendorong agar Pemerintah melakukan reformasi penerimaan pajak sebagai instrumen utama pembiayaan pembangunan. Ratio pajak terhadap PDB menjadi isu yang harus dijadikan atensi serius oleh pemerintahan ke depan dengan pendekatan hukum yang lebih tegas”, tegas mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
Lebih lanjut, Sultan menerangkan bahwa untuk mencapai Indonesia emas 2045, Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kecakapan dalam bidang ekonomi dan ketegasan dalam penegakan hukum. Artinya, dalam konteks kepemimpinan nasional, kita membutuhkan seorang transformer ekonomi yang tegas dalam penegakan hukum.
Diketahui, Lembaga Penelitian dan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI beberapa waktu lalu merilis white paper berjudul Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029. Dalam white paper tersebut dikatakan Indonesia bisa gagal menjadi negara maju pada 2045.
LPEM FEB UI mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang stagnan dan tak pernah jauh di atas level kisaran 5%, pertumbuhan kredit per tahun pun tak pernah tembus 15%, rasio pajak terhadap PDB tak pernah melampaui 11% dan bahkan hanya 9,9% satu dekade terakhir, hingga kontribusi industri terhadap PDB yang terus merosot hingga kini di level 18% dan kemiskinan ekstrem yang persisten di level 1,7%.