Jakarta – Dengan masih rendahnya persentase vaksinasi yang dilaksanakan oleh pemerintah, maka dalam mengantisipasi transmisi penularan Covid-19 penting untuk meningkatkan upaya pengujian dan Pelacakan (testing and tracing).
Hal ini diperlukan sebagai tindakan dalam pengendalian virus di Indonesia. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa beberapa waktu terakhir angka kasus terinfeksi hingga menyebabkan kematian meningkat.
Mengenai ini, ada dua alat tes yang lazim digunakan, yaitu tes dengan polyemerase chain reaction (PCR) dan rapid tes antigen. Hanya saja, perbedaan dari dua metode tersebut adalah tingkat akurasi dari hasil tes yang dilakukan.
Menurut Dosen Departemen Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Basti Andriyoko, dr., Sp.PK(K), Jika dibandingkan, akurasi tes PCR tetap lebih baik dibanding tes antigen. Hal ini yang menjadikan tes PCR menjadi gold standard dalam menentukan apakah seseorang tersebut positif covid-19 maupun negatif. Dimana akurasi PCR bisa sampai 95 persen, sedangkan antigen ini akan ada miss 10–15 persen.
Akan tetapi, dengan tingkat akurasi yang tinggi serta merupakan standar utama dalam mendeteksi keberadaan virus Covid-19 ditubuh manusia, masalahnya adalah harga tes PCR si Indonesia dinilai masih cukup tinggi (800 ribu hingga jutaan), sehingga sulit didapatkan oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Melalui keterangan resminya Jumat (12/08/2021) Wakil ketua DPD RI, Sultan B Najamudin angkat bicara mengenai persoalan ini. Menurutnya tes PCR adalah alat tes yang seharusnya dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Sebab akurasi alat deteksi infeksi virus tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan kepada si pasien hingga perlakuan kebijakan terhadap penyebaran Covid-19.
“Yang pertama ingin saya sampaikan bahwa cara pandang utama dalam menghadapi pandemi pada saat ini adalah dengan menggunakan kacamata kemanusiaan. Dan untuk mewujudkannya diperlukan kehadiran negara”, ujar Sultan.
Sultan juga menambahkan bahwa selama ini banyak sekali kasus terinfeksi Covid-19 yang tidak terdeteksi dikarenakan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. Baik karena tidak memahami pentingnya mendeteksi dini kondisi kesehatan ataupun ketidak mampuan dikarenakan akses dan biaya.
“Kita semua yakin banyak sekali masyarakat yang tidak melakukan tes padahal dia telah tertular dan terinfeksi virus, sehingga penyebaran terjadi diluar pantauan pihak pemerintah”, tandasnya.
Lalu menurutnya, tidak boleh ada pihak manapun yang “berbisnis” mengambil keuntungan sedikitpun dengan memanfaatkan situasi bencana saat ini.
“Kita mendengar biaya tes PCR dinegara kita jauh lebih mahal daripada beberapa negara tetangga, India misalnya. Disana bisa lebih murah hanya 150 ribuan. Maka saya meminta agar pemerintah dapat membuat kebijakan ulang untuk menurunkan biaya tes tersebut ke limit yang paling minimum”, tegasnya.
Mantan Wakil Gubernur Bengkulu tersebut juga menghimbau kepada klinik dan Rumah Sakit yang menyediakan tes PCR agar lebih menggunakan pendekatan manusiawi dalam menerapkan biaya kepada masyarakat.
“Bicara pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam konteks apapun tidak bisa ditinjau dari untung-rugi. Yang menjadi tugas utama kita semua adalah memastikan keselamatan seluruh rakyat Indonesia”. Tutupnya.