Jumat, 06 Des 2024

Revisi UU Kedokteran, Sultan: Proses Legislasi Harus By Evidence Bukan By Accident

2 minutes reading
Sultan B Najamudin
29 Apr 2022

Jakarta – Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin mengaku prihatin dengan proses pembentukan perundang-undangan pemerintah dan DPR yang cenderung subjektif dan tidak aspiratif hanya untuk memenuhi kepentingan politik tertentu.

Hal ini disampaikan mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu untuk merespon rencana pemerintah dan DPR yang berniat merevisi UU Kedokteran dan sebelumnya telah melakukan proses revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

“Kita ketahui bahwa pelibatan masyarakat dalam proses legislasi adalah mutlak. Karena setiap produk UU merupakan jawaban atas persoalan dan pemenuhan kebutuhan hukum terhadap kepentingan masyarakat, bukan ujug-ujug disusun dan direvisi sesuai kebutuhan apalagi kepentingan elit tertentu, sehingga basisnya harus by evidence bukan by accident”, ujar Sultan melalui keterangan resminya pada Jum’at (29/04).

Menurutnya, DPR dan pemerintah tidak boleh sepihak dan subjektif dalam memutuskan untuk mengubah materi UU tertentu demi hanya ingin meloloskan RUU yang memiliki kecacatan formal dalam proses pembentukannya. Apalagi sampai merevisi UU karena hanya mengakomodir kepentingan pihak tertentu, seperti terjadi pada UU PPP dan UU praktek Kedokteran.

“Kami ingin mengatakan bahwa semua aturan perundang-undangan pada prinsipnya bertujuan untuk membatasi kecenderungan dan ego kita semua sebagai warga negara dalam menjaga kondusifitas sosial politik dalam kehidupan berbangsa yang harus dijalankan secara konsekuen. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan hukum yang cepat atau lambat akan menimbulkan polarisasi sosial politik dalam masyarakat”, tegasnya.

Dalam kasus konflik IDI dan dr. Terawan misalnya, kata Sultan, Pemerintah Sebaiknya melalukan rekonsiliasi bukan justru melakukan pembelahan terhadap organisasi profesi yang merupakan amanah UU praktek Kedokteran itu. Jangan sampai, proses sebuah kebijakan yang dinilai cacat formil dan melanggar hukum, kemudian memaksa kita untuk merevisi aturan hukum rujukannya.

“Masyarakat jangan diajrkan untuk melanggar hukum, bahkan setelah divonis bersalah, aturan hukumnya yang diubah seenaknya. Ini tentu akan menjadi preseden yang buruk bagi masyarakat dari para pembuat aturan hukum dan perundang-undangan”, tutupnya.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *