Jakarta – Tujuh tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) berjalan telah membawa perubahan besar dalam lanskap pembangunan di Indonesia. Meski ada beberapa kontradiksi dalam penerapannya yang harus segera diperbaiki.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Sultan B. Najamudin dalam rilisnya, Kamis (8/7/2021).
Sultan menjelaskan, perkembangan positif pasca UU Desa di antaranya adalah desa tidak lagi dianggap sebagai isu pinggiran dan sekarang banyak pihak yang memperhatikan pembangunan dan kemajuan desa. Sehingga kini banyak generasi milenial dan tokoh-tokoh muda di berbagai daerah yang tertarik menjadi kepala desa.
“Saya berharap desa tampil sebagai desa progresif sesuai spirit UU Desa antara lain yaitu karena kepemimpinan baru yang inovatif, desa berbasis digital yang progresif, dukungan jaringan pembelajaran dan gerakan, pemahaman akan UU Desa yang lebih utuh, maupun konsolidasi gerakan dalam desa,” ujar Senator Sultan B. Najamudin
Selanjutnya, Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin melihat UU Desa memberikan kewenangan pembangunan kepada pemerintah desa dari yang sebelumnya berada dalam kewenangan pemerintah daerah diubah menjadi dalam kewenangan pemerintah desa.
Dengan demikian UU Desa telah melembagakan kewenangan pembangunan skala lokal desa dimana pemerintah desa merupakan institusi lokal yang otonom dalam pembangunan desa.
“Meskipun UU Desa telah memberi suatu kerangka regulatif yang sangat baik bagi terlaksananya proses pembangunan desa secara mandiri dan modern, namun masih belum mampu menjadi jawaban atas semua permasalahan selama ini diperjuangkan bagi terwujudnya otonomi desa beserta hak-haknya khususnya dalam pembangunan desa,” tegas Senator Muda asal Bengkulu ini.
“Saya juga memperjuangkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai salah satu instrumen penting dalam rancangan undang-undang perubahan kedua UU No.6/2014 tentang. Kini BPD sangat di perlukan terutama dalam hal pengawasan, perencanaan, hingga menampung aspirasi dari program-program desa. Alasan yuridis BPD sudah cukup kuat dan akan sangat efektif dalam memajukan pembangunan berbasis inovasi dan kreativitas di desa-desa. Para anggota BPD nantinya ke depan juga punya tanggung jawab moral dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan. Hal ini untuk upaya penguatan fungsi dan kewenangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai salah satu instrumen rancangan undang-undang,” tambah mantan Wakil Gubernur Bengkulu termuda ini.
Sultan menjelaskan secara spesifik bahwa para anggota BPD lebih memiliki kewenangan yang representatif dengan anggaran yang ada, terutama dalam hal anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) atau Dana Desa.
“BPD itu sebagai ‘middle power and communicator‘. Artinya, para anggota BPD itu kekuatan tengah dan komunikator antara masyarakat dengan kepala desa. Oleh karena itu, saya mendorong dan minta BPD di perkuat kewenangannya dan kinerjanya,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan dasar hukum BPD tertuang dalam Permendagri 110 tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Saya sebagai Pimpinan DPD RI berharap kepada pemerintah segera memberikan solusi terhadap Badan Hukum BUMDes dan menelurkan kebijakan yang tepat yang terkait dengan hak desa memanfaatkan sumber daya milik bersama untuk kemakmuran dan kesejahteraan desa,” tutup Wakil Ketua DPD RI termuda ini.